November 2015



Anak yang sedang mencari ilmu di pondok, tentu membutuhkan biaya. Memang biaya merupakan salah satu syarat dari orang yang mencari ilmu. Karena itulah, wali santri perlu mengirim kebutuhan anaknya di pondok pesanatren. 


A.   Mengirim Langsung
Hal ini bisa dilakukan oleh orang tua/ wali santri langsung ke Ma’had Tibyan Li Al-Shibyan Miftahul Ulum Panyeppen. Apabila yang mengirim adalah ibunya atau wanita mahramnya, maka harus mengenakan pakaian yang islami yakni menutupi aurat dan tidak memakai pakaian yang serba ketat (celana), serta menunjukan Kartu Wali Santri  (KWS) yang diberikan pengurus waktu awal pendaftaran.



B.   Tata Krama Mengirim Langsung
Hendaknya wali santri tidak mengajak atau menyuruh orang-orang dibawah ini untuk menjumpai putranya di pondok. Yaitu:
1.     Orang yang berambut gondrong atau berpakaian tidak sopan (celana pendek)
2.     Orang perempuan yang bukan mahram putranya
3.     Orang perempuan yang tidak memakai pakaian Islami/ tidak menutupi aurat dan memakai pakain yang serba kettat


 
A.    Kapan Boleh Pulang
Di Ma’had Tibyan Li Al-Shibyan Miftahul Ulum Panyeppen santri diperbolehkan pulang  hanya dua kali setahun : libur Maulid dan libur Ramadhan.

Selain pada libur Maulid dan libur  Ramadhan, wali santri diperkenankan mengizinkan pulang putranya apabila :
1.   Wali/orang tua meninggal dunia atau sakit keras
2.   Keluarga yang masih mahram meninggal dunia atau sakit keras.
3.   Walimatul Ursy
4.   Ibadah haji
5.   sakit dan sudah diobati di pesantren namun belum juga sembuh dalam jangka waktu 3 hari

B.     Sakit yang Boleh Pulang
Perlu diketahui oleh wali santri, bahwa tidak semua penyakit yang diderita putranya bisa dijadikan pertimbangan untuk idzin pulang. Wali santri boleh mengidzinkan pulang karena sakit, apabila:
1.   Terkena penyakit menular
2.   Terkena penyakit yang masa pengobatannya lama dan perlu banyak istirahat, seperti penyakit thypus dan lainya. Setelah mendapatkan surat keterangan dari dokter
3.   Putranya akan melakukan kontrol kesehatan atas saran dokter dirumahnya, dan memiliki surat keterangan dari dokter

C.     Tata Krama Idzin Pulang
Sebelum mengizinkan pulang putranya, hendaknya wali santri mempertimbangkan, apakah putranya betul-betul perlu di idzinkan pulang atau tidak.
Kemudian mempertimbangkan juga, apakah alasan untuk idzin pulang sudah sesuai dengan peraturan Ma’had Tibyan Li Al-Shibyan Miftahul Ulum Panyeppen.

Kalau ternyata alasan pulang tidak sesuai dengan peraturan, maka Pengurus tidak berani member idzin dan akan melarang pulang. Sebab pengurus juga diwajibkan taat pada peraturan/ undang-undang Ma’had Tibyan Li-Al-Shibyan Miftahul Ulum Panyeppen, termasuk dalam member idzin pulang atau tidak. Selain itu, harapan Pengurus Ma’had Tibyan Li Al-Shibyan Miftahul Ulum Panyeppen santri agar tidak sering pulang. Agar tujuannya mencari ilmu tidak terganggu.
Ketika asudah sering di idzinkan pulang maka dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak di inginkan seperti halnya tidak kerasan, ketinggalan mata pelajaran dsb.

D.    Tata Cara Idzin Pulang
Untuk mengidzinkan pulang putranya, orang tua /walinya sebaiknya terlebih dahulu mendatangi Koordinator Keamanan dengan menunjukan kartu wali santri. Untuk membeli surat idzin.
Setelah membeli surat idzin wali santri mendatangi satu persatu bagian peridzinan untuk minta tanda tangan sesuai dengan jabatanya yang tertera pada surat idzin. Dan  Tanda tangan terakhir adalah pengasuh. Setelah pengasuh memberikan restu orang tua/ wali santri meminta stempel ke koordinator keamanan Ma’had Tibyan Li Al-Shibyan Miftahul Ulum Panyeppen.

E.     Bila Terlambat Kembali
Agar tidak terjadi penyelewengan atau kesalah pahaman antara Pengurus dan wali santri, kalau putranya yang pulang ternyata terlambat kembali ke pondok, maka hendaknya wali santri memperpanjang surat idzinya ke bagian pengurus/ Koordinator keamanan. Wali santri hendaknya mengantarkan sendiri putranya ke pondok.
Sebab, terkadang ada santri yang sudah pamit kepada walinya untuk kembali tepat waktu, tapi sampai beberapa hari belum juga sampai ke pondok.

F.     Sakit Tapi Tidak Boleh Pulang
Pengurus seringkali tidak memperbolehkan pulang kepada santrinya yang sakit. Selama dokter di Puskestren tidak memberi rekomendasi untuk pulang, maka Pengurus tidak memberikan idzin untuk pulang. Namun tindakan ini bukan bermaksud untuk mempersulit peridzinan santri akan tetapi lebih kepada kepedulian pengurus terhadap pendidikan santri agar tujuan pendidikan senantiasa tercapai sesuai dengan yang kita inginkan bersama.



G.      Proses Kerangka Peridzinan Pulang
Santri yang hendak pulang mengunakan prosesedur sebagai berikut :
Pemohon >>           1. Keaman Daerah             2. Kepala Daerah
3. Pembimbing/wali kelas            4. Koordinator Keamanan
5. Pengasuh           6. Disetor ke Kantor            >> Pemohon
 




 Sepuluh nopember merupakan hari yang memiliki arti penting dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia dalam membebaskan diri dari belengguh penjajahan. Sepuluh Nopember menjadi saksi bisu pergerakan dan pertempuran hebat putra-putra bangsa dalam menghadapi pasukan asing setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan.

Namun setiap tahunnya seperti tidak ada perubahan yang berarti dimana sepuluh Nopember hanya terasa seperti sebuah ceremonial belaka tanpa dihayati makna dan nilai perjuangan yang diwariskan dari para pejuang kepada generasi penerus. Bukankah bangsa yang besar merupakan bangsa yang tidak melupakan sejarah dan menghargai jasa-jasa para pahlawan. Lalu dengan tindakan apa kita sebagai generasi penerus perjuangan bangsa melaksanakan amanah dari para pendahulu kita.


Bangsa kita memang telah lepas dari belengguh penjajahan dan kolonialisme dan kita dengan bangga mengucapkan kata “Merdeka” di negara yang kaya akan hasil bumi, laut dan tambang ini. Namun apakah rakyat dinegara yang kaya ini telah merasakan kesejahteraan?.

Indonesia merupakan negara yang kaya dimana memiliki tambang emas terbaik di papua, memiliki cadangan gas alam terbesar, memiliki sumber batu bara terbaik, memiliki tanah yang subur, memiliki lautan yang luas dan hutan hujan tropis yang tersebar diseluruh pulau, Namun apakah kita sudah merasa merdeka dengan segala kekayaan tersebut? apakah kita berhasil mengelolah semua kekayaan alam tersebut dengan bijak untuk kesejahtraan bangsa.

Jika didefinisikan merdeka merupakan suatu kebebasan, Terbebas dari berbagai macam belengguh dan  kekuasan dari kepentingan pihak-pihak tertentu. Pada dasarnya semua manusia dilahirkan merdeka hanya saja kondisi kehidupannya sehari-hari yang membuatnya menjadi terbelengguh. Mungkinkah kita telah merdeka jika masih dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan pihak lain.

Jadi seperti apa kita memaknai hari pahlawan dan tindakan apa yang kita perbuat untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan?

Ma'had Tibyan Li Al-Shibyan mengucapkan Selamat Hari Pahlawan 10 November 2015.
Di hari pahlawan ini, alangkah lebih baiknya kita mengapresiasikan ke dalam bentuk prilaku. Ya, prilaku cinta tanah air dan semangat juanglah yang dibutuhkan oleh negeri ini. Bukan hanya sekedar omong saja, atau teori saja, melainkan tindakan yang sepantasnya untuk bisa memajukan negeri ini.

Para santri harus diberi peluang untuk membuat revolusinya sendiri. Sebuah revolusi wacana. Revolusi pemikiran. Lahap semua buku, diskusi, dan menulislah. Sekali lagi, bikin revolusi.
– Dwy Sadoellah
Setidaknya dalam satu setengah dasawarsa terakhir, Pondok Pesantren Sidogiri telah menunjukkan keseriusan dalam menggalakkan kreativitas tulis-menulis para santrinya. Dan, kini Pondok Pesantren Sidogiri telah dikenal sebagai pesantren yang benar-benar concern di bidang pemikiran dan kepenulisan. Ada sejumlah buku karya santri-santri Sidogiri yang menasional, dibicarakan dan dijadikan rujukan oleh banyak kalangan. Meski belum seberapa, tapi bagaimanapun ini adalah suatu capaian yang wajib disyukuri.
Setidaknya sejak tujuh belas tahun silam, tepatnya pada tahun 1419 H, melalui jurnal Maktabatuna yang diterbitkan oleh Perpustakaan Sidogiri, Mas d. Nawawy Sadoellah menuangkan abstraksi pemikiran beliau dalam suatu tulisan bertajuk “Ah, Santri”. Inti dari tulisan itu, setidaknya dalam pembacaan penulis, ialah motivasi kepada para santri untuk berbuat, dengan memunculkan wacana dan pemikiran yang dituangkan melalui tulisan.
Salah satu alasan kenapa kaum santri tak pernah disebut-sebut dalam setiap perubahan besar yang terjadi silih-berganti, termasuk di Nusantara ini, ialah karena mereka ‘tidak berbuat’ (sesuatu yang dianggap revolusioner). Maka karena itu, Mas Dwy memotivasi para santri untuk segera berbuat, bahkan dengan membikin revolusi sekalipun, tentu bukan dengan bedil dan meriam, tapi dengan pena: revolusi wacana dan pemikiran.
Tampaknya, tulisan itu selanjutnya benar-benar menggugah para santri untuk menulis. Perlahan, beberapa majalah bermunculan di Pondok Pesantren Sidogiri, mulai dari majalah yang terbit perpekan, perbulan, persemester, hingga pertahun. Semakin banyak majalah semakin banyak penulis. Tradisi tulis-menulis pun kian membumi dan semakin bergairah.
Pada gilirannya, muncul sejumlah penulis yang mengembangkan kreativitas tulis-menulisnya tidak sebatas sebagai artikel lepas, tapi sudah fokus pada tema-tema tertentu yang kemudian dituangkan dalam bentuk buku. Itulah sebabnya mengapa kemudian sejak delapan tahun lalu, tepatnya pada tahun 1428, Sidogiri mendirikan lembaga penerbitan Pustaka Sidogiri. Hingga kini, Pustaka Sidogiri telah menerbitkan lebih dari seratus judul buku, baik yang berbahasa Arab maupun yang berbahasa Indonesia.
Namun harus diakui, bahwa ini semua baru sebatas langkah awal untuk bisa bersaing di pentas Nasional. Bagaimanapun, semua ini masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan penerbit-penerbit besar di Indonesia yang sudah besar, dengan ciri khas dan ideologi mereka masing-masing, baik Wahabi, Syiah, liberal, dan lain-lain.
Jika kita masuk ke toko-toko buku besar, misalnya, kita belum melihat karya-karya santri bisa mewarnai belantara pemikiran yang dipajang pada ratusan rak-rak buku yang dijejer di situ. Artinya, fakta ini haruslah menumbuhkan kesadaran para pemangku pesantren dan kaum santri untuk terus melanjutkan dan mengasah kemampuan tulis-menulis mereka agar bisa terlibat dalam persaingan dan bahkan memenangkan persaingan itu.
Dalam perang pemikiran, jika kita berhenti berusaha untuk bisa memenangkan persaingan, maka bahaya terbesarnya adalah corak Islam yang akan mendominasi adalah aliran yang lebih serius dalam melakukan manuver. Artinya, jika selama ini Wahabi atau Syiah yang rutin membanjiri toko-toko buku dengan karya-karya khas mereka, maka lama kelamaan, disadari atau tidak, Islam corak Wahabi atau Syiah itulah yang akan lebih banyak dipahami oleh masyarakat pada umumnya.

Media dan Penguasa
Pada zaman sebelum era sosial media bergulir seperti saat ini, opini selalu dikuasai oleh penguasa media. Siapa yang menguasai media, dialah yang bisa memonopoli kebenaran. Demikianlah kira-kira anggapan, atau bahkan fakta yang telah diketahui kebanyakan orang mengenai watak media. Dalam iklim yang seperti itu, media selalu identik dengan uang dan kekuasaan. Artinya, siapa yang punya uang ia bisa menguasai media, siapa yang berkuasa maka ia bisa mengontrol media. Jadi memonopoli kebenaran hanya ada di tangan orang kaya dan para penguasa.
Setidaknya, itu dibuktikan oleh fakta bahwa kita pernah terkurung oleh suatu masa di mana selain yang berkuasa tak boleh berbicara, walaupun mungkin itu adalah kebenaran – yang menyakitkan bagi penguasa. Pada saat itu, menteri penerangan masih sangat relevan, dan bahkan termasuk kementerian dengan peran paling vital. Pada zaman itu, pemberedelan terhadap media-media yang tak seirama dengan suara penguasa adalah hal yang lumrah. Itulah zaman yang biasa kita sebut orde baru.
Setelah orde baru tumbang, kita masuk pada periode yang disebut reformasi. Tapi tampaknya, periode reformasi faktanya malah membalikkan arah media pada titik ekstrem yang sebaliknya. Ketika penguasa era orde baru mengekang dan membungkam para jurnalis dan media-media yang membangkang, maka pada era reformasi, kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat bergulir liar tanpa ada pagar yang bisa membatasinya. Dan, pada saat penguasa tak bisa mengontrol media, justru mereka bisa dibeli oleh orang-orang kaya.
Ya, setidaknya tren perpolitikan kita sejak satu dasawarsa terakhir telah menunjukkan hal itu. Bahwa sejak saat itu dan hingga kini, politik benar-benar tak terpisahkan dari bisnis. Politikus adalah para pebisnis dengan modal super jumbo. Mereka punya uang, punya perusahaan media massa yang besar, lalu membentuk partai politik, atau bergabung dengan sebuah partai politik. Dan dalam setiap pesta demokrasi, terutama dalam pilpres, keberpihakan media-media kepada para kontestan amat sangat mencolok. Reformasi terbukti tak mengubah apapun dari media massa; tetap menjadi alat penguasa.
Pada dua keadaan seperti di atas, baik periode orde baru maupun orde reformasi, suara pesantren sama sekali tidak diperhitungkan. Dan pada dua keadaan tersebut, pesantren sama-sama tidak diuntungkan, boleh jadi karena tak memiliki dua alat untuk mengemudikan media massa itu: uang dan kekuasaan. Bahkan, sebagaimana telah dimaklumi bersama, sejak dahulu hingga kini peran pesantren dan komunitas santri tetap sama; seringkali dijadikan sebagai tunggangan politik dalam pesta demokrasi.

Era Sosial Media
Namun, kini kita tengah memasuki era yang nyaris sama sekali baru: era sosial media. Pada era seperti sekarang ini, suara media-media besar tak lagi benar-benar bisa menjadi suara mainstream. Inilah era di mana masing-masing individu bisa beropini secara bebas, dan hebatnya, opini mereka bisa didengar tidak saja oleh penguasa lokal, akan tetapi oleh dunia.
Bagaimanapun, era sosial media telah memberikan kejutan-kejutan yang barangkali tak pernah diprediksikan sebelumnya. Di Indonesia, sebatas yang saya ingat, pernah heboh perseteruan penulis surat pembaca di suatu surat kabar yang berisi komplain terhadap layanan rumah sakit. Tapi kemudian pihak rumah sakit tidak terima, dan menyeret penulis surat itu ke meja hijau. Alhasil, si penulis surat akhirnya didenda senilai ratusan juta.
Keputusan yang tidak adil ini pun akhirnya menyebar di media sosial. Akhirnya masyarakat Indonesia menggalang dana simpati dalam bentuk uang receh, yang dalam sekejap terkumpul jumlah denda yang dituntutkan itu. Uang receh itu pun selanjutnya diserahkan pada pengadilan. Dan ini, bagaimanapun, telah mencoreng muka lembaga penegak hukum di Indonesia. Bahkan, lebih dari itu, di sejumlah negara, acap kali terjadi demontrasi dan perlawanan terhadap penguasa justru dimonitor dari media sosial semacam twitter dan facebook.
Bahkan pada tahun 2009, Indonesia dihebohkan oleh sebuah buku berjudul Membongkar Gurita Cikeas, Di Balik Skandal Bank Century yang ditulis oleh George Junus Aditjondro. Karena sudah jelas menyerang penguasa, maka buku itu ditarik dari peredaran setelah hanya sehari dipasarkan. Namun justru karena itu orang ingin membacanya. Akhirnya bagian-bagian dari buku itu beredar luas di internet dan jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Publik pun jadi tahu apa sebenarnya yang terjadi. Tampaknya, kini pemegang uang dan pemegang kekuasaan tak lagi benar-benar memonopoli kebenaran.

 Menangkap Momentum
Hal yang ingin penulis jelaskan dari uraian singkat di atas adalah, bahwa era sosial media seperti saat ini adalah momentum yang tepat bagi jurnalistik pesantren untuk tampil ke permukaan dengan jangkauan yang tidak terbatas. Jika, seperti sejumlah kasus di atas, suara masyarakat sipil bisa mengubah opini media massa dan bahkan mengalahkan penguasa, maka pesantren tentunya punya potensi untuk melakukan hal yang sama.
Tentu, yang penulis maksud bukan berarti menggiring pesantren untuk membentuk opini guna menyerang penguasa. Namun maksudnya, kini suara pesantren sangat mungkin untuk didengar, tidak saja oleh elite dan penguasa negara, tapi bahkan oleh dunia. Dan, penulis melihat sebagian pesantren sudah memiliki kelayakan untuk membangun poros jurnalistik yang profesional, terutama untuk media berbasis tulisan dan voice.
Sungguh, betapa khazanah pesantren yang demikian banyak adalah laksana bahan mentah yang belum dikelola menjadi bahan siap saji, baik itu berupa tradisi, budaya, keyakinan, tuntunan suluk dalam berbagai bidang kehidupan; sosial, ekonomi, politik, gagasan-gagasan dan pemikiran berbasis pesantren, dan lain sebagainya.
Dan, bahan-bahan mentah itu mesti dikelola melalui jurnalistik yang profesional, agar misalnya, ajaran tentang akidah yang tersebar tidak melulu akidah versi Wahhabi; dakwah-dakwah di televisi tak melulu diisi mereka yang tidak mumpuni, agar pemerintah mendengar informasi pembanding soal akidah aliran-aliran sesat semacam Syiah, Liberal, dan lain-lain, sehingga bisa memberikan kebijakan yang benar, dan seterusnya.

Dari Abu Hurairah beliau berkata: “Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat: Di manakah orang-orang yang saling mencintai demi keagungan-Ku? Hari ini kunaungi mereka di bawah naungan-Ku di mana hari tiada naungan kecuali naungan-Ku”
Esensi Hadis Qudsi
Secara terminologi pengertian Hadis Qudsi adalah: ragam khusus dari Hadis-Hadis yang diriwayatkan dari Nabi r, yang beliau sandarkan kepada Allah. Dengan sebab penyandaran tersebut, Hadis-Hadis ragam ini memperoleh kekudusan (kesucian), dan karena itu pulalah terkadang Hadis Qudsi ini di disebut al Hadis al-Ilahiyah dan al-Hadis al-Rabbaniyah.
Penjelasan tentang Hadis Qudsi ini, banyak ditemukan diberbagai definisi dan pendapat para ulama terdahulu dan masa kini yang pantas untuk dikemukakan. Adapun salah satu dari definisi tertua mengenai Hadis Qudsi adalah apa yang dikemukakan oleh As-Syarif al-Jurjani[1] (w.816 H) dalam bukunya at-ta’rifat, yaitu:
Hadis Qudsi, dari segi makna bersumber dari Allah, dan dari segi redaksi bersumber dari Rasulullah.
Hadis Qudsi merupakan sesuatu yang diberitakan Allah kepada Rasul-Nya melalui ilham, atau mimpi, kemudian Rasulullah menyampaikannya kepada umat manusia dengan memakai redaksi yang beliau susun sendiri (seiring qudrah dan iradah-Nya). Karena itu al-Qur’an lebih mulia dari pada Hadis Qudsi, sebab lafaz al-Qur’an termasuk yang diturunkan-Nya.
Sejalan dengan definisi di atas juga dipaparkan oleh al-Mulla bin Muhammad al-Qari, pakar hukum Islam bermadzhab Hanafi (w. 1016 H), dalam mukaddimah karyanya al-Hadis al-Qudsiyyah al-Arba’iniyyah.[2]
Bersamaan dengan definisi di atas, masih ada pendapat-pendapat lain yang hampir tidak keluar dari kandungan apa yang telah disebut di atas. Misalnya definisi Muhammad bin Yusuf al-Kirmani yang  mengomentari kandungan kitab as-Shahih al-Bukhari (w. 743 H), Ibnu Hajar al-Atsqalani, yang mengomentari kitab al-Arba’in an-Nawawiyyah (w. 974 H), Muhammad bin ‘Allan ash-Shiddiqi asy-Syafi’i, yang mengomentari kitab ar-Riyadh as-Shalihin   ( w. 1057 H).[3]
Adapun keinginan para ulama terkait dengan Hadis Qudsi adalah berupaya untuk menjelaskan esensi Hadis Qudsi menyangkut beberapa hal:
  1. Perbedaan Antara Hadis Qudsi Dengan Hadis Nabi
Secara kesimpulan, Hadis Nabi, sanadnya berakhir pada Rasulullah. Sedang Hadis Qudsi sanadnya berlanjut hingga kepada Allah. Dengan demikian ia adalah firman Allah, seperti pada Hadis yang mengharamkan penganiayaan, yakni: ”wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan penganiayaan atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya di antara kamu pun haram, karena itu,  janganlah saling menganiaya,
Namun penting untuk diketahui bahwa hal ini tidak menafikan bahwa Hadis Nabi secara umum adalah wahyu dari Allah, berdasarkan firman-Nya: ”Sesungguhnya dia ( Muhammad ) tidak berucap dari hawa nafsu,” (QS. An-Najm : 53).
  1. Cara Kehadiran Hadis Qudsi Dari Segi Redaksi Dan Esensinya
Dalam pembahasan ini, ada dua pendapat ulama. 1) Sebagian berpendapat bahwa lafaz dan maknanya sama-sama  dari Allah dengan alasan bahwa Hadis Qudsi  secara tegas dinisbatkan kepada Allah, dan penamaannya sebagai Qudsi, Ilahi, dan Rabbany, demikian juga dengan redaksinya yang  menggunakan kata pada persona pertama (Allah).
2) sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa yang dari Allah hanya maknanya saja, dengan alasan-alasan yang sama dengan apa yang di kemukakan tadi, adapun redaksinya merupakan susunan dari Rasulullah atas izin dan iradah Allah, dengan sebab itu Hadis Qudsi  tidak dapat menjadi mukjizat, dan boleh jadi berbeda-beda dalam periwayatannya,
Perbedaan pendapat ini tidak terlalu signifikan, selama terdapat kesepakatan tentang sumber maknanya yaitu dari Allah, dan bahwa Hadis Qudsi tersebut tidak merupakan mukjizat dan tidak juga tercakup dalam janji pemeliharaan Allah sebagaimana al Qur’an. Dari asumsi ini dapat disimpulkan bahwa redaksi tersebut diucapkan Nabi melalui ilham atau taufik Allah.
  1. Bentuk-Bentuk Redaksi Periwayatan Hadis Qudsi
Mengenai hal ini ada dua bentuk redaksi periwayatan Hadis Qudsi yang di perkenalkan para ulama.
Pertama, -dan ini yang dianggap afdhal oleh ulama salaf- yaitu memulai Hadis Qudsi  itu dengan berkata:
”Nabi Bersabda, dari apa yang beliau riwayatkan dari Allah Azza Wa Jalla (yang Maha Mulia lagi Maha Agung )”.
Kedua, menggunakan redaksi ”Allah berfirman, sebagaimana diriwayatkan dari-Nya oleh Rasulullah,”
Sebenarnya dari dua periwayatan ini hampir sama hanya saja redaksinya yang sedikit terdapat perbedaan tapi tetap se arti. Kalau lebih diteliti lagi secara cermat kita akan menemukan berbagai riwayat Hadis Qudsi yang berbeda dengan apa yang telah dipaparkan di atas, seperti berikut ini:
  1. Hadis Qudsi tersebut dimulai dengan redaksi: ”Rasulullah Bersabda, Allah Azza Wa Jalla berfirman”, kemudian sang perawi menyebut teks Hadis.
  2. Firman Allah dalam Hadis Qudsi  tersebut disampaikan bukan dalam bentuk ”Dia berfirman”, seperti Hadis Qudsi  yang diriwayatkan imam Muslim: ”Setelah Allah telah menyelesaikan ciptaan, Dia memutuskan dalam ketetapan-Nya atas diri-Nya, maka keputusan itu ada di sisi-Nya, ‘sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan amarah-Ku’. [4] Teks terakhir ini diriwayatkan secara sangat pasti dengan bentuk persona pertama kepada Allah.
  3. Dalam suatu redaksi Hadis hampir tidak ditemukan Hadis yang dari awal hingga akhir berupa Hadis Qudsi  semua, tetapi bagian Qudsinya hanya yang dinisbatkan secara jelas kepada Allah, setelah dimulai dengan Sabda Nabi yang menjelaskan konteks pembicaraan. Seperti Hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i, Rasulullah bersabda: ”Tuhanmu kagum terhadap seorang pengembala kambing, di belahan puncak suatu Gunung, dia mengumandangkan azan untuk salat, lalu ia melaksanakan salat, Allah Azza Wa Jalla (Yang Maha Mulia lagi Maha Agung ) befirman: ”lihatlah kepada hamba-Ku ini…”
  4. Bagian Hadis yang Qudsi, termasuk ke dalam Hadis sebagaimana yang terdapat di atas, tetapi kenisbatannya kepada Allah dipahami dari konteksnya, tidak dengan redaksi yang tegas menisbatkan kepadanya. Seperti dalam Hadis riwayat Imam Muslim: ”Rasulullah bersabda: ”dibuka pintu-pintu surga (setiap) hari Senin dan Kamis, ketika itu setiap hamba yang tidak diampuni adalah seorang yang terdapat antara dia dan saudaranya (seagama) permusuhan. Menyangkut mereka akan dikatakana (oleh allah): ‘tangguhkan kedua orang itu sampai mereka berdamai”.

 Epilog
Semua bentuk redaksi tersebut memiliki sifat ke-qudsian (kesucian), karena semua mengandung redaksi yang dinisbatkan kepada Allah. Dan dari penjabaran di atas kita bisa membedakan dengan sendirinya antara Hadis-Hadis, apakah ini berupa Hadis Qudsi atau Hadis yang murni dari Rasulullah.
Wallahu ‘a’lam

Muhairil Yusuf /Santri Sidogiri Asal Bangkalan.

[1] Asy-Syarif al-Jurjani adalah Ali bin Muhammad bin Ali (at-Ta’rif), (Tunis: ad-Dar at-Tunisiah, 1971), hal. 45  
[2] Mulla Ali al-Qari, al-Ahadits al-Qudsiyyah, (Halab: al-Ilmiah, 1927), hal 2
[3] Lihat al-Majlis al-A’la li asy-Syu’un al-Islamiah, al-Ahadits al-Qudsiyyah, (Kairo: jilid 1, 1969), hal 5-7. Muhammad bin ‘Allan ash-Shiddiqi, Kitab Dalil al-Falihin, li Thuruq Qiyadh ash-Shalihin, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, jilid 1,201), hal.74. Dr. Sya’ban Muhammad Ismail, al-Ahadits al-Qudsiyyah wa Manzilatuha fi at-Tasyri’.(Kairo: 1398 H.) hal 28.
[4] Imam Muslim, Shahih Muslim juz 5, hal 718.

11892274_1657813604455902_8283236819352024380_n
Bisa jadi Ustadz belajar dari Prilaku Muridnya
Terkisah dari Ibnu Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah. Di satu pagi, seorang santri menemui gurunya dalam keadaan pucat pasi. “Wahai Tuan Guru, semalam aku mengkhatamkan Alquran dalam sholat malamku.”
Sang Guru tersenyum. “Bagus Nak. Nanti tolong hadirkan bayangan diriku di hadapanmu saat kau baca Alquran itu. Rasakanlah seolah-olah aku sedang menyimak apa yang engkau baca.”
Esok harinya, sang murid datang dan melapor pada gurunya. “Tuan Guru,” katanya, “Semalam aku hanya sanggup menyelesaikan separuh dari Alquran itu.”
“Engkau sungguh telah berbuat baik,” ujar sang guru sembari menepuk pundaknya. “Nanti malam lakukan lagi dan kali ini hadirkan wajah para sahabat Nabi yang telah mendengar Alquran itu langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bayangkanlah baik-baik bahwa mereka sedang mendengarkan dan memeriksa bacaanmu.”
Pagi-pagi buta, sang murid kembali menghadap dan mengadu. “Duh Guru,” keluhnya, “Semalam bahkan hanya sepertiga Alquran yang dapat aku lafalkan.”
“Alhamdulillah, engkau telah berbuat baik,” kata sang guru mengelus kepala si santri. “Nanti malam bacalah Alquran dengan lebih baik lagi, sebab yang akan hadir di hadapanmu untuk menyimak adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Orang yang kepadanya Alquran diturunkan.”
Seusai shalat Shubuh, sang guru bertanya, “Bagaimana shalatmu semalam?” “Aku hanya mampu membaca satu juz, Guru,” kata si santri sambil mendesah, “Itu pun dengan susah payah.”
“Masya Allah,” kata sang guru sambil memeluk sang santri dengan bangga. “Teruskan kebaikan itu, Nak. Dan nanti malam tolong hadirkan Allah di hadapanmu. Sungguh, selama ini pun sebenarnya Allah-lah yang mendengarkan bacaanmu. Allah yang telah menurunkan Alquran. Dia selalu hadir di dekatmu. Jikapun engkau tidak melihat-Nya, Dia pasti melihatmu. Ingat baik-baik. Hadirkan Allah, karena Dia mendengar dan menjawab apa yang engkau baca.”
Keesokan harinya, ternyata santri itu jatuh sakit. Sang Guru pun datang menjenguknya. “Ada apa denganmu?” tanya Sang Guru.
Sang santri berlinang air mata. “Demi Allah, wahai Tuan Guru,” ujarnya, “Semalam aku tak mampu menyelesaikan bacaanku. Walaupun, Cuma al-Fatihah aku tak sanggup menamatkannya. Ketika sampai pada ayat, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin” lidahku kelu. Aku merasa aku sedang berdusta. Di mulut aku ucapkan “Kepada-Mu ya Allah, aku menyembah” tapi jauh di dalam hatiku aku tahu, aku sering memperhatikan yang selain Dia. Ayat itu tak mau keluar dari lisanku. Aku menangis dan tetap saja tak mampu menyelesaikannya.”
“Nak…,” kata sang guru sambil berlinang air mata, “Mulai hari ini engkaulah guruku. Dan sungguh aku ini muridmu. Ajarkan padaku apa yang telah kau peroleh. Sebab meski aku membimbingmu di jalan itu, aku sendiri belum pernah sampai pada puncak pemahaman yang kau dapat di hari ini.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.