11/04/15

Media dan Penguasa
Pada zaman sebelum era sosial media bergulir seperti saat ini, opini selalu dikuasai oleh penguasa media. Siapa yang menguasai media, dialah yang bisa memonopoli kebenaran. Demikianlah kira-kira anggapan, atau bahkan fakta yang telah diketahui kebanyakan orang mengenai watak media. Dalam iklim yang seperti itu, media selalu identik dengan uang dan kekuasaan. Artinya, siapa yang punya uang ia bisa menguasai media, siapa yang berkuasa maka ia bisa mengontrol media. Jadi memonopoli kebenaran hanya ada di tangan orang kaya dan para penguasa.
Setidaknya, itu dibuktikan oleh fakta bahwa kita pernah terkurung oleh suatu masa di mana selain yang berkuasa tak boleh berbicara, walaupun mungkin itu adalah kebenaran – yang menyakitkan bagi penguasa. Pada saat itu, menteri penerangan masih sangat relevan, dan bahkan termasuk kementerian dengan peran paling vital. Pada zaman itu, pemberedelan terhadap media-media yang tak seirama dengan suara penguasa adalah hal yang lumrah. Itulah zaman yang biasa kita sebut orde baru.
Setelah orde baru tumbang, kita masuk pada periode yang disebut reformasi. Tapi tampaknya, periode reformasi faktanya malah membalikkan arah media pada titik ekstrem yang sebaliknya. Ketika penguasa era orde baru mengekang dan membungkam para jurnalis dan media-media yang membangkang, maka pada era reformasi, kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat bergulir liar tanpa ada pagar yang bisa membatasinya. Dan, pada saat penguasa tak bisa mengontrol media, justru mereka bisa dibeli oleh orang-orang kaya.
Ya, setidaknya tren perpolitikan kita sejak satu dasawarsa terakhir telah menunjukkan hal itu. Bahwa sejak saat itu dan hingga kini, politik benar-benar tak terpisahkan dari bisnis. Politikus adalah para pebisnis dengan modal super jumbo. Mereka punya uang, punya perusahaan media massa yang besar, lalu membentuk partai politik, atau bergabung dengan sebuah partai politik. Dan dalam setiap pesta demokrasi, terutama dalam pilpres, keberpihakan media-media kepada para kontestan amat sangat mencolok. Reformasi terbukti tak mengubah apapun dari media massa; tetap menjadi alat penguasa.
Pada dua keadaan seperti di atas, baik periode orde baru maupun orde reformasi, suara pesantren sama sekali tidak diperhitungkan. Dan pada dua keadaan tersebut, pesantren sama-sama tidak diuntungkan, boleh jadi karena tak memiliki dua alat untuk mengemudikan media massa itu: uang dan kekuasaan. Bahkan, sebagaimana telah dimaklumi bersama, sejak dahulu hingga kini peran pesantren dan komunitas santri tetap sama; seringkali dijadikan sebagai tunggangan politik dalam pesta demokrasi.

Era Sosial Media
Namun, kini kita tengah memasuki era yang nyaris sama sekali baru: era sosial media. Pada era seperti sekarang ini, suara media-media besar tak lagi benar-benar bisa menjadi suara mainstream. Inilah era di mana masing-masing individu bisa beropini secara bebas, dan hebatnya, opini mereka bisa didengar tidak saja oleh penguasa lokal, akan tetapi oleh dunia.
Bagaimanapun, era sosial media telah memberikan kejutan-kejutan yang barangkali tak pernah diprediksikan sebelumnya. Di Indonesia, sebatas yang saya ingat, pernah heboh perseteruan penulis surat pembaca di suatu surat kabar yang berisi komplain terhadap layanan rumah sakit. Tapi kemudian pihak rumah sakit tidak terima, dan menyeret penulis surat itu ke meja hijau. Alhasil, si penulis surat akhirnya didenda senilai ratusan juta.
Keputusan yang tidak adil ini pun akhirnya menyebar di media sosial. Akhirnya masyarakat Indonesia menggalang dana simpati dalam bentuk uang receh, yang dalam sekejap terkumpul jumlah denda yang dituntutkan itu. Uang receh itu pun selanjutnya diserahkan pada pengadilan. Dan ini, bagaimanapun, telah mencoreng muka lembaga penegak hukum di Indonesia. Bahkan, lebih dari itu, di sejumlah negara, acap kali terjadi demontrasi dan perlawanan terhadap penguasa justru dimonitor dari media sosial semacam twitter dan facebook.
Bahkan pada tahun 2009, Indonesia dihebohkan oleh sebuah buku berjudul Membongkar Gurita Cikeas, Di Balik Skandal Bank Century yang ditulis oleh George Junus Aditjondro. Karena sudah jelas menyerang penguasa, maka buku itu ditarik dari peredaran setelah hanya sehari dipasarkan. Namun justru karena itu orang ingin membacanya. Akhirnya bagian-bagian dari buku itu beredar luas di internet dan jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Publik pun jadi tahu apa sebenarnya yang terjadi. Tampaknya, kini pemegang uang dan pemegang kekuasaan tak lagi benar-benar memonopoli kebenaran.

 Menangkap Momentum
Hal yang ingin penulis jelaskan dari uraian singkat di atas adalah, bahwa era sosial media seperti saat ini adalah momentum yang tepat bagi jurnalistik pesantren untuk tampil ke permukaan dengan jangkauan yang tidak terbatas. Jika, seperti sejumlah kasus di atas, suara masyarakat sipil bisa mengubah opini media massa dan bahkan mengalahkan penguasa, maka pesantren tentunya punya potensi untuk melakukan hal yang sama.
Tentu, yang penulis maksud bukan berarti menggiring pesantren untuk membentuk opini guna menyerang penguasa. Namun maksudnya, kini suara pesantren sangat mungkin untuk didengar, tidak saja oleh elite dan penguasa negara, tapi bahkan oleh dunia. Dan, penulis melihat sebagian pesantren sudah memiliki kelayakan untuk membangun poros jurnalistik yang profesional, terutama untuk media berbasis tulisan dan voice.
Sungguh, betapa khazanah pesantren yang demikian banyak adalah laksana bahan mentah yang belum dikelola menjadi bahan siap saji, baik itu berupa tradisi, budaya, keyakinan, tuntunan suluk dalam berbagai bidang kehidupan; sosial, ekonomi, politik, gagasan-gagasan dan pemikiran berbasis pesantren, dan lain sebagainya.
Dan, bahan-bahan mentah itu mesti dikelola melalui jurnalistik yang profesional, agar misalnya, ajaran tentang akidah yang tersebar tidak melulu akidah versi Wahhabi; dakwah-dakwah di televisi tak melulu diisi mereka yang tidak mumpuni, agar pemerintah mendengar informasi pembanding soal akidah aliran-aliran sesat semacam Syiah, Liberal, dan lain-lain, sehingga bisa memberikan kebijakan yang benar, dan seterusnya.

Dari Abu Hurairah beliau berkata: “Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat: Di manakah orang-orang yang saling mencintai demi keagungan-Ku? Hari ini kunaungi mereka di bawah naungan-Ku di mana hari tiada naungan kecuali naungan-Ku”
Esensi Hadis Qudsi
Secara terminologi pengertian Hadis Qudsi adalah: ragam khusus dari Hadis-Hadis yang diriwayatkan dari Nabi r, yang beliau sandarkan kepada Allah. Dengan sebab penyandaran tersebut, Hadis-Hadis ragam ini memperoleh kekudusan (kesucian), dan karena itu pulalah terkadang Hadis Qudsi ini di disebut al Hadis al-Ilahiyah dan al-Hadis al-Rabbaniyah.
Penjelasan tentang Hadis Qudsi ini, banyak ditemukan diberbagai definisi dan pendapat para ulama terdahulu dan masa kini yang pantas untuk dikemukakan. Adapun salah satu dari definisi tertua mengenai Hadis Qudsi adalah apa yang dikemukakan oleh As-Syarif al-Jurjani[1] (w.816 H) dalam bukunya at-ta’rifat, yaitu:
Hadis Qudsi, dari segi makna bersumber dari Allah, dan dari segi redaksi bersumber dari Rasulullah.
Hadis Qudsi merupakan sesuatu yang diberitakan Allah kepada Rasul-Nya melalui ilham, atau mimpi, kemudian Rasulullah menyampaikannya kepada umat manusia dengan memakai redaksi yang beliau susun sendiri (seiring qudrah dan iradah-Nya). Karena itu al-Qur’an lebih mulia dari pada Hadis Qudsi, sebab lafaz al-Qur’an termasuk yang diturunkan-Nya.
Sejalan dengan definisi di atas juga dipaparkan oleh al-Mulla bin Muhammad al-Qari, pakar hukum Islam bermadzhab Hanafi (w. 1016 H), dalam mukaddimah karyanya al-Hadis al-Qudsiyyah al-Arba’iniyyah.[2]
Bersamaan dengan definisi di atas, masih ada pendapat-pendapat lain yang hampir tidak keluar dari kandungan apa yang telah disebut di atas. Misalnya definisi Muhammad bin Yusuf al-Kirmani yang  mengomentari kandungan kitab as-Shahih al-Bukhari (w. 743 H), Ibnu Hajar al-Atsqalani, yang mengomentari kitab al-Arba’in an-Nawawiyyah (w. 974 H), Muhammad bin ‘Allan ash-Shiddiqi asy-Syafi’i, yang mengomentari kitab ar-Riyadh as-Shalihin   ( w. 1057 H).[3]
Adapun keinginan para ulama terkait dengan Hadis Qudsi adalah berupaya untuk menjelaskan esensi Hadis Qudsi menyangkut beberapa hal:
  1. Perbedaan Antara Hadis Qudsi Dengan Hadis Nabi
Secara kesimpulan, Hadis Nabi, sanadnya berakhir pada Rasulullah. Sedang Hadis Qudsi sanadnya berlanjut hingga kepada Allah. Dengan demikian ia adalah firman Allah, seperti pada Hadis yang mengharamkan penganiayaan, yakni: ”wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan penganiayaan atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya di antara kamu pun haram, karena itu,  janganlah saling menganiaya,
Namun penting untuk diketahui bahwa hal ini tidak menafikan bahwa Hadis Nabi secara umum adalah wahyu dari Allah, berdasarkan firman-Nya: ”Sesungguhnya dia ( Muhammad ) tidak berucap dari hawa nafsu,” (QS. An-Najm : 53).
  1. Cara Kehadiran Hadis Qudsi Dari Segi Redaksi Dan Esensinya
Dalam pembahasan ini, ada dua pendapat ulama. 1) Sebagian berpendapat bahwa lafaz dan maknanya sama-sama  dari Allah dengan alasan bahwa Hadis Qudsi  secara tegas dinisbatkan kepada Allah, dan penamaannya sebagai Qudsi, Ilahi, dan Rabbany, demikian juga dengan redaksinya yang  menggunakan kata pada persona pertama (Allah).
2) sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa yang dari Allah hanya maknanya saja, dengan alasan-alasan yang sama dengan apa yang di kemukakan tadi, adapun redaksinya merupakan susunan dari Rasulullah atas izin dan iradah Allah, dengan sebab itu Hadis Qudsi  tidak dapat menjadi mukjizat, dan boleh jadi berbeda-beda dalam periwayatannya,
Perbedaan pendapat ini tidak terlalu signifikan, selama terdapat kesepakatan tentang sumber maknanya yaitu dari Allah, dan bahwa Hadis Qudsi tersebut tidak merupakan mukjizat dan tidak juga tercakup dalam janji pemeliharaan Allah sebagaimana al Qur’an. Dari asumsi ini dapat disimpulkan bahwa redaksi tersebut diucapkan Nabi melalui ilham atau taufik Allah.
  1. Bentuk-Bentuk Redaksi Periwayatan Hadis Qudsi
Mengenai hal ini ada dua bentuk redaksi periwayatan Hadis Qudsi yang di perkenalkan para ulama.
Pertama, -dan ini yang dianggap afdhal oleh ulama salaf- yaitu memulai Hadis Qudsi  itu dengan berkata:
”Nabi Bersabda, dari apa yang beliau riwayatkan dari Allah Azza Wa Jalla (yang Maha Mulia lagi Maha Agung )”.
Kedua, menggunakan redaksi ”Allah berfirman, sebagaimana diriwayatkan dari-Nya oleh Rasulullah,”
Sebenarnya dari dua periwayatan ini hampir sama hanya saja redaksinya yang sedikit terdapat perbedaan tapi tetap se arti. Kalau lebih diteliti lagi secara cermat kita akan menemukan berbagai riwayat Hadis Qudsi yang berbeda dengan apa yang telah dipaparkan di atas, seperti berikut ini:
  1. Hadis Qudsi tersebut dimulai dengan redaksi: ”Rasulullah Bersabda, Allah Azza Wa Jalla berfirman”, kemudian sang perawi menyebut teks Hadis.
  2. Firman Allah dalam Hadis Qudsi  tersebut disampaikan bukan dalam bentuk ”Dia berfirman”, seperti Hadis Qudsi  yang diriwayatkan imam Muslim: ”Setelah Allah telah menyelesaikan ciptaan, Dia memutuskan dalam ketetapan-Nya atas diri-Nya, maka keputusan itu ada di sisi-Nya, ‘sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan amarah-Ku’. [4] Teks terakhir ini diriwayatkan secara sangat pasti dengan bentuk persona pertama kepada Allah.
  3. Dalam suatu redaksi Hadis hampir tidak ditemukan Hadis yang dari awal hingga akhir berupa Hadis Qudsi  semua, tetapi bagian Qudsinya hanya yang dinisbatkan secara jelas kepada Allah, setelah dimulai dengan Sabda Nabi yang menjelaskan konteks pembicaraan. Seperti Hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i, Rasulullah bersabda: ”Tuhanmu kagum terhadap seorang pengembala kambing, di belahan puncak suatu Gunung, dia mengumandangkan azan untuk salat, lalu ia melaksanakan salat, Allah Azza Wa Jalla (Yang Maha Mulia lagi Maha Agung ) befirman: ”lihatlah kepada hamba-Ku ini…”
  4. Bagian Hadis yang Qudsi, termasuk ke dalam Hadis sebagaimana yang terdapat di atas, tetapi kenisbatannya kepada Allah dipahami dari konteksnya, tidak dengan redaksi yang tegas menisbatkan kepadanya. Seperti dalam Hadis riwayat Imam Muslim: ”Rasulullah bersabda: ”dibuka pintu-pintu surga (setiap) hari Senin dan Kamis, ketika itu setiap hamba yang tidak diampuni adalah seorang yang terdapat antara dia dan saudaranya (seagama) permusuhan. Menyangkut mereka akan dikatakana (oleh allah): ‘tangguhkan kedua orang itu sampai mereka berdamai”.

 Epilog
Semua bentuk redaksi tersebut memiliki sifat ke-qudsian (kesucian), karena semua mengandung redaksi yang dinisbatkan kepada Allah. Dan dari penjabaran di atas kita bisa membedakan dengan sendirinya antara Hadis-Hadis, apakah ini berupa Hadis Qudsi atau Hadis yang murni dari Rasulullah.
Wallahu ‘a’lam

Muhairil Yusuf /Santri Sidogiri Asal Bangkalan.

[1] Asy-Syarif al-Jurjani adalah Ali bin Muhammad bin Ali (at-Ta’rif), (Tunis: ad-Dar at-Tunisiah, 1971), hal. 45  
[2] Mulla Ali al-Qari, al-Ahadits al-Qudsiyyah, (Halab: al-Ilmiah, 1927), hal 2
[3] Lihat al-Majlis al-A’la li asy-Syu’un al-Islamiah, al-Ahadits al-Qudsiyyah, (Kairo: jilid 1, 1969), hal 5-7. Muhammad bin ‘Allan ash-Shiddiqi, Kitab Dalil al-Falihin, li Thuruq Qiyadh ash-Shalihin, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, jilid 1,201), hal.74. Dr. Sya’ban Muhammad Ismail, al-Ahadits al-Qudsiyyah wa Manzilatuha fi at-Tasyri’.(Kairo: 1398 H.) hal 28.
[4] Imam Muslim, Shahih Muslim juz 5, hal 718.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.