Media dan Penguasa

Setidaknya, itu dibuktikan oleh fakta
bahwa kita pernah terkurung oleh suatu masa di mana selain yang berkuasa
tak boleh berbicara, walaupun mungkin itu adalah kebenaran – yang
menyakitkan bagi penguasa. Pada saat itu, menteri penerangan masih
sangat relevan, dan bahkan termasuk kementerian dengan peran paling
vital. Pada zaman itu, pemberedelan terhadap media-media yang tak
seirama dengan suara penguasa adalah hal yang lumrah. Itulah zaman yang
biasa kita sebut orde baru.
Setelah orde baru tumbang, kita masuk
pada periode yang disebut reformasi. Tapi tampaknya, periode reformasi
faktanya malah membalikkan arah media pada titik ekstrem yang
sebaliknya. Ketika penguasa era orde baru mengekang dan membungkam para
jurnalis dan media-media yang membangkang, maka pada era reformasi,
kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat bergulir liar tanpa ada
pagar yang bisa membatasinya. Dan, pada saat penguasa tak bisa
mengontrol media, justru mereka bisa dibeli oleh orang-orang kaya.
Ya, setidaknya tren perpolitikan kita
sejak satu dasawarsa terakhir telah menunjukkan hal itu. Bahwa sejak
saat itu dan hingga kini, politik benar-benar tak terpisahkan dari
bisnis. Politikus adalah para pebisnis dengan modal super jumbo. Mereka
punya uang, punya perusahaan media massa yang besar, lalu membentuk
partai politik, atau bergabung dengan sebuah partai politik. Dan dalam
setiap pesta demokrasi, terutama dalam pilpres, keberpihakan media-media
kepada para kontestan amat sangat mencolok. Reformasi terbukti tak
mengubah apapun dari media massa; tetap menjadi alat penguasa.
Pada dua keadaan seperti di atas, baik
periode orde baru maupun orde reformasi, suara pesantren sama sekali
tidak diperhitungkan. Dan pada dua keadaan tersebut, pesantren sama-sama
tidak diuntungkan, boleh jadi karena tak memiliki dua alat untuk
mengemudikan media massa itu: uang dan kekuasaan. Bahkan, sebagaimana
telah dimaklumi bersama, sejak dahulu hingga kini peran pesantren dan
komunitas santri tetap sama; seringkali dijadikan sebagai tunggangan
politik dalam pesta demokrasi.
Era Sosial Media
Namun, kini kita tengah memasuki era
yang nyaris sama sekali baru: era sosial media. Pada era seperti
sekarang ini, suara media-media besar tak lagi benar-benar bisa menjadi
suara mainstream. Inilah era di mana masing-masing individu bisa
beropini secara bebas, dan hebatnya, opini mereka bisa didengar tidak
saja oleh penguasa lokal, akan tetapi oleh dunia.
Bagaimanapun, era sosial media telah
memberikan kejutan-kejutan yang barangkali tak pernah diprediksikan
sebelumnya. Di Indonesia, sebatas yang saya ingat, pernah heboh
perseteruan penulis surat pembaca di suatu surat kabar yang berisi
komplain terhadap layanan rumah sakit. Tapi kemudian pihak rumah sakit
tidak terima, dan menyeret penulis surat itu ke meja hijau. Alhasil, si
penulis surat akhirnya didenda senilai ratusan juta.
Keputusan yang tidak adil ini pun
akhirnya menyebar di media sosial. Akhirnya masyarakat Indonesia
menggalang dana simpati dalam bentuk uang receh, yang dalam sekejap
terkumpul jumlah denda yang dituntutkan itu. Uang receh itu pun
selanjutnya diserahkan pada pengadilan. Dan ini, bagaimanapun, telah
mencoreng muka lembaga penegak hukum di Indonesia. Bahkan, lebih dari
itu, di sejumlah negara, acap kali terjadi demontrasi dan perlawanan
terhadap penguasa justru dimonitor dari media sosial semacam twitter dan
facebook.
Bahkan pada tahun 2009, Indonesia dihebohkan oleh sebuah buku berjudul Membongkar Gurita Cikeas, Di Balik Skandal Bank Century
yang ditulis oleh George Junus Aditjondro. Karena sudah jelas menyerang
penguasa, maka buku itu ditarik dari peredaran setelah hanya sehari
dipasarkan. Namun justru karena itu orang ingin membacanya. Akhirnya
bagian-bagian dari buku itu beredar luas di internet dan jejaring sosial
seperti facebook dan twitter. Publik pun jadi tahu apa sebenarnya yang
terjadi. Tampaknya, kini pemegang uang dan pemegang kekuasaan tak lagi
benar-benar memonopoli kebenaran.
Menangkap Momentum
Hal yang ingin penulis jelaskan dari
uraian singkat di atas adalah, bahwa era sosial media seperti saat ini
adalah momentum yang tepat bagi jurnalistik pesantren untuk tampil ke
permukaan dengan jangkauan yang tidak terbatas. Jika, seperti sejumlah
kasus di atas, suara masyarakat sipil bisa mengubah opini media massa
dan bahkan mengalahkan penguasa, maka pesantren tentunya punya potensi
untuk melakukan hal yang sama.
Tentu, yang penulis maksud bukan
berarti menggiring pesantren untuk membentuk opini guna menyerang
penguasa. Namun maksudnya, kini suara pesantren sangat mungkin untuk
didengar, tidak saja oleh elite dan penguasa negara, tapi bahkan oleh
dunia. Dan, penulis melihat sebagian pesantren sudah memiliki kelayakan
untuk membangun poros jurnalistik yang profesional, terutama untuk media
berbasis tulisan dan voice.
Sungguh, betapa khazanah pesantren yang
demikian banyak adalah laksana bahan mentah yang belum dikelola menjadi
bahan siap saji, baik itu berupa tradisi, budaya, keyakinan, tuntunan
suluk dalam berbagai bidang kehidupan; sosial, ekonomi, politik,
gagasan-gagasan dan pemikiran berbasis pesantren, dan lain sebagainya.
Dan, bahan-bahan mentah itu mesti
dikelola melalui jurnalistik yang profesional, agar misalnya, ajaran
tentang akidah yang tersebar tidak melulu akidah versi Wahhabi;
dakwah-dakwah di televisi tak melulu diisi mereka yang tidak mumpuni,
agar pemerintah mendengar informasi pembanding soal akidah aliran-aliran
sesat semacam Syiah, Liberal, dan lain-lain, sehingga bisa memberikan
kebijakan yang benar, dan seterusnya.